Wednesday, April 22, 2015

Mencari Kawitan Orang Bali

Mencari Kawitan orang Bali 

Banyak orang bingung mencari Kawitan karena pada zaman Bali Kuna belum ada pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Setelah kalahnya Bali pemerintahan dipegang oleh Dalem Baturenggong dengan dibantu Danghyang Nirarta yg diberi gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada pemujaan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yg sudah ada di Bali sebelum masuknya Dh Nirarta menjadi bingung untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum masuknya Danghyang Nirarta. 

Sehingga banyak masyarakat Bali Mula masuk kedalam klompok Pasek, contoh: Kubayan, Dukuh, Karang Buncing, Tangkas, Bandesa, masuk ke soroh Pasek, padahal Kubayan itu adalah jabatan rohaniawan desa Bali Kuna sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dukuh adalah turunan raja-raja Bali Kuno yg diberi gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yg diberi julukan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak sekali kontroversi mengenai sejarah Bali ini yang perlu diluruskan. Catur Lawa (Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan) itu bukan soroh atau kelompok warga. 

Catur Lawa itu adalah 4 kelompok tugas yang membantu kelancaran jalannya upacara yang ada di Pr Penataran Besakih. Dukuh yang mempunyai tugas bagian simbol suci Tuhan atau yang “muput” upakara, Penyarikan mempunyai tugas bagian administrasi, Pande dan Pasek mempunyai tugas membuat sarana dan prasarana lainnya misalnya, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan kerangka lainnya. 

KAWITAN DAN PEDHARMAN MASYARAKAT BALI MULA?
Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan (Stana Leluhur Yang Disucikan), Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi 

Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu (berselisih dengan pusat/Majapahit) dan Beda Muka (raja berkepala babi) oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi. 

Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan (2006:184), serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. 

Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf ”a” awal diganti dengan huruf ”e”, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca (Riana, 2009:100,377). Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali) artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi (Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963). 

Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu. Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar (istana baru) yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu. 

Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham (Bedahulu) dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati (mahapatih) kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom (prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi). Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya. 

Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala (perangkap) oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung. 

Penyerangan terbagi menjadi tiga arah:
dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar.
Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara.
Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. 

Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel.
Yang menjadi pertanyaan,
1. siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel?
2. Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit?

Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder (1995:786), kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. 

Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya: kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya:
Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih (senapati) di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan (Gusti Ularan) 
Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing.
Sri Rigis menjadi Arya Rigis,
Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri,
Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur,
Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru. 

Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek (Kyayi Agung Pasek Gelgel) dengan Catur Lawa yaitu 4 (empat) kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi (bakat) dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh (klen, kasta). Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya.

Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen (kelompok warga).
Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih.
Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain.
Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur (Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008).

Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh (pendeta) yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka.
Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. 

Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. 

Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha.
Dr. Martha A. Muuses, mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong (bertanggung jawab) terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit. 

Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan religi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali.

Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya:
Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya.
Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya.
Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih (bulan) dan yang satu lagi mengikuti wuku (minggu). Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga (bulan ke 9) dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa (bulan ke 10). Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe. 
Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya;
dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa,
dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha,
Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa,
Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma,
Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya.

Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya:
Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno,
Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus,
Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek,
Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti,
Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu,
Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, 
semua diatas lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya.

Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra (kelompok warga) itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain? 

Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan (stana suci para leluhur). Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim : 801) menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula (warga, wangsa, treh, gotra). 

Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu? 

Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan: “Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewa”. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan ‘lewat’ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. 

Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan ‘mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita.

Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya (ibu) yaitu melalui tali pusar (ari-ari). Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. 

Dalam penerapan keagamaan sehari-hari ‘mungkin’ ari-ari (tali pusar) ini disimbolkan menjadi selempot (senteng), karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng (selempot) yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri. 

PURA KAWITAN
Dilihat dari segi fungsinya, Pura sebenarnya ada dua yaitu: sebagai tempat memuja Hyang Widhi (Dewa Pratistha) dan sebagai tempat memuja roh suci leluhur (Atma Pratistha). Lalu ditinjau dari segi karakternya, pura di bagi lagi menjadi empat kelompok yaitu: Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kawitan. 

Khusus untuk Pura Kawitan, tidak lain dari tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Jadi Pura Kawitan ini bersifat spesifik atau mengkhusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk ke dalam kelompok Pura Kawitan antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman dan yang sejenisnya. 

Perihal Pura Panti dan Pura Dadia sebenarnya berada dalam kelompok pura yang sama dan juga mempunyai pengertian yang tidak berbeda pula. Artinya apa yang disebut Pura Panti itu dapat pula disebut dengan Pura Dadia. Sama halnya dengan sebutan Sanggah dapat pula disebut dengan istilah Merajan. Yang membedakannya hanyalah terletak pada jumblah penyiwi atau pemujanya. Sebagaimana tersurat di dalam Lontar Siwagama bahwa: “Bhagawan Manohari beliau beraliran Siwa dengan tugas disuruh oleh Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang, dan lainnya lagi ialah asal penjelmaan seseorang. Setiap 40 pekarangan rumah (keluarga) disuruh mendirikan Panti, adapun setengah bagian dari itu yakni 20 pekarangan rumah supaya mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10 pekarangan rumah mendirikan Pelinggih Pratiwi (pertiwi) dan pada setiap pekarangan rumah supaya didirikan Pelinggih Kemulan (sanggah/merajan) 

Di luar yang tersurat di atas tetapi masih termasuk ke dalam kelompok Pura Kawitan adalah Pedharman yang dipandang sebagai tempat pemujaan tertinggi untuk memuja leluhur. Jika dipersamakan dengan pepohonan mungkin Pedharman ini termasuk bagian bongkol atau akar atau asal mula dari kelahiran para keturunannya. Sehingga jangan heran jika suatu waktu melakukan persembahyangan di Pedharman boleh jadi walaupun berasal dari leluhur yang satu/sama tetapi ternyata kita tidak saling mengenal. Berbeda halnya jika kita bersembahyang di lever Pura Kawitan yang tergolong sanggah sampai Pura Panti masih terasa lebih dekat “menyama” karena lebih mudah dicari hubungan dalam susunan keturunannya. 

Apalagi belakangan ini tengah menjadi fenomena bagi hampir setiap umat Hindu untuk mencari jejak silsilah atau asal muasal leluhurnya sampai keberadaannya seperti sekarang ini. Hal itu amat baik untuk menumbuhkembangkan ajaran Pitra Puja di mana kita diwajibkan untuk selalu berbhakti kepada para leluhur yang telah berkeadaan suci (Atma Sidha Dewata).

Ajaran Dharma

Ajaran dharma 
Sekilas ajaran Sanata dharma – HINDU

Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi"), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran"). kata Hindu berakar dari kata Sindhu. 

Agama ini diperkirakan muncul tahun 10.000 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama terbesar di dunia dengan jumlah umat sebanyak hampir 1,5 milyar jiwa. Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa kerajaan Majapahit. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa, Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap), Sumatera (Batak Karo). 

Etimologi 
Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam Regweda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. 

Kata "agama" yang dipergunakan oleh umat Hindu dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "gam" yang artinya "pergi" atau "perjalanan". Urat kata "gam" ini mendapat prefix "a" yang berarti "tidak" dan tambahan "a" di belakang yang berarti "sesuatu" atau dapat berfungsi sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama diartikan "sesuatu yang tidak pergi", tidak berubah atau tetap, langgeng (abadi). Yang tidak pernah berubah-ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti) melalui para Nabi (Maha Resi) untuk mengatur alam semesta beserta isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan jasmaniah.

DHARMA
Kata "Dharma" berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "dhr" (baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku, memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata "dhr" ini kemudian berkembang menjadi kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta segala isinya. Dalam hubungan dengan peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat. Sedangkan dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang luhur.
Pustaka Smrti Santi Parwa 109.11:
Dharanad dharma ityahur 
Dharmena widrtah prajah
Artinya:
Kata dharma dikatakan datang dari kata Dharana (yang berarti memangku, menjunjung, atau mengatur). Dengan dharma semua makhluk diatur
Istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik. Beratus- ratus tahun sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan nama agama Weda atau Jaman Weda. 

Kemudian Hindu dipakai nama dengan mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di mana penggunaan huruf "s" dan "h" dapat ditukar- tukar, misalnya kata "Soma" dapat menjadi kata Homa, kata "Satima" dapat menjadi Hatima, dan sebagainya.

Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci).

Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai.

Tujuan Agama Hindu
MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH
Jadi secara garis besar tujuan agama Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak. Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka "Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah" yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa, dengan kata lain bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin.

Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.

Salam Agama Hindu
Om Swastiastu
Untuk membina hubungan yang harmonis dan mempererat rasa persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat, agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan (panganjali) dengan ucapan "Om Swastiastu" (silahkan baca: "Om Swastiastu - Salam sekaligus Do'a"). Salam ini dapat juga dipergunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM" yang artinya semoga damai.

Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan "Om Swastiastu" dengan sikap yang sama pula.

"Om" artinya Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya ada dan "Astu" artinya semoga, jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.

Namaste
Namaste berasal dari 2 kata "Namah" yang artinya menunduk, hormat; dan "Te" yang artinya padamu, merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi salam di Asia Selatan (silahkan baca: "Namaste adalah Penghormatan Spiritual"). Namaste digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan pada representasi arti dari "Saya Menghormati Anda". Ketika berbicara dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di depan dada.

Filosofi Namaste bagi saya pribadi lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah. 

Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya" Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan tertinggi. Namaste…! 

Lambang Agama Hindu
Lambang atau simbul dalam keagamaan merupakan sarana pengikat keyakinan umatnya untuk lebih mendekatkan hati dan perasaannya kepada cita- cita hidup keagamaan, disebut juga Niyasa atau Murti Puja. Agama Hindu mempergunakan Swastika sebagai lambang (silahkan baca: "Swastika lambang yang Universal").

Adapun bentuk asli dari lambang SWASTIKA ialah dua garis vertikal dan horisontal bersilang sama sisi, tegak lurus di tengah- tengah (+). Sebagai kreasi seni budaya yang selalu berkembang, Swastika juga mengalami perkembangan sehingga kemudian menjadi berbentuk : 


Swastika menggambarkan keharmonisan perputaran alam semesta dengan segala romantika, dinamika dan dialektikanya. Hal mana pada hakekatnya menunjukkan kemahabesaran Sang Hyang Widhi Wasa selaku Maha Pencipta. Kata Swastika berarti keselamatan atau kesejahteraan. Garis vertikal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan pencipta- Nya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa, sedangkan garis horisontal menunjukkan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya, termasuk hubungan manusia dengan alam.

Apabila hubungan manusia dengan penciptanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya terjalin dengan harmonis, maka manusia akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Keselamatan dan kesejahteraan adalah hakekat tujuan agama. Keempat garis di ujung- ujung garis vertikal dan garis horisontal menunjukkan arah perputaran Swastika, yaitu berputar ke arah kanan. Jadi Swastika juga melukiskan gerak, yaitu gerak alam semesta yang berputar ke arah kanan. Pada hakekatnya semua isi alam juga mengalami perputaran seperti angin, air, dan sebagainya, untuk menimbulkan keharmonisan di alam ini.

Kitab Suci
Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci Weda, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Selain, Weda yang merupakan paling lengkap, ada juga Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari agama Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam agama Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai Pancamo Weda Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti. 

Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para Maha Rsi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi. Ketujuh Maha Resi tersebut yakni: 
1. Resi Gritsamada
2. Resi Wasista
3. Resi Atri
4. Resi Wiswamitra
5. Resi Wamadewa
6. Resi Bharadwaja
7. Resi Kanwa
Mantera-mantera/seloka-seloka yang diturunkan oleh Tuhan kepada para Maha Rsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan mantra-mantra tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar mantera-mantera tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah mantera-mantera tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.

Setelah penyusunan dilakukan, mantera-mantera tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Regweda Samhita
2. Ayurweda Samhita
3. Samaweda Samhita
4. Atharwaweda Samhita
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai "Weda yang kelima".
Weda Smrti yaitu tafsir dari Weda Sruti, disusun dengan maksud mempermudah mempelajarinya, terdiri dari dua kelompok yaitu:
Kelompok Wedangga
1. Siksa, Isinya tentang ilmu tentang phonetics
2. Wyakarana, Isinya tentang ilmu tata bahasa
3. Chanda, Isinya tentang pengetahuan tentang lagu
4. Nirukta, Isinya tentang pengetahuan tentang sinonim dan akronim
5. Jyotisa, Isinya tentang ilmu astronomi
6. Kalpa, Isinya tentang tentang ritual         
Kelompok Upaweda
1. Itihasa, Isinya tentang ceritera- ceritera kepahlawanan (epos) terdiri dari Mahabarata dan Ramayana
2. Purana, Isinya tentang himpunan ceritera- ceritera (mirip sejarah) tentang peristiwa- peristiwa tertentu dan tentang tradisi.
3. Arthasastra, Isinya tentang pengetahuan tentang pemerintahan.
4. Ayurweda, Isinya tentang ilmu obat- obatan.
5. Gandarwa Weda, Isinya tentang ilmu tentang seni
6. Sarasamuçcaya dan Slokantara , Isinya tentang etika dan tata susila.

Bhagawadgita
Bhagavad-Gita, merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri Astadasaparwa kitab Mahabharata, yang berisi percakapan antara Sri Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.

Kresna yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita.

Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda. 

Purana
Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni: 
1. Matsyapurana                                      
2. Wisnupurana
3. Bhagawatapurana
4. Warahapurana
5. Wamanapurana
6. Markandeyapurana
7. Bayupurana
8. Agnipurana
9. Naradapurana

1. Garudapurana
2. Linggapurana
3. Padmapurana
4. Skandapurana
5. Bhawisyapurana
6. Brahmapurana
7. Brahmandapurana
8. Brahmawaiwartapurana
9. Kurmapurana 

Itihasa
Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu di masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat agama, mitologi, dan cerita tentang makhluk supranatural, yang merupakan manifestasi kekuatan Brahman. Kitab Itihasa disusun oleh para Resi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Resi Walmiki dan Resi Byasa. Itihasa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahabharata. 
Kitab lainnya
Selain kitab Weda, Bhagawadgita, Upanishad, Purana dan Itihasa, agama Hindu mengenal berbagai kitab lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwasutra, Nitisastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astronomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.

Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim. 

Resi / Maha Resi
Resi adalah orang yang atas usahanya melakukan tapa brata yoga samadhi, memiliki kesucian, terpilih oleh Tuhan, dapat menghubungkan diri dengan Tuhan, sehingga dengan kuasa- Nya dapat melihat hal yang sudah lampau, sekarang, dan yang akan datang, serta dapat menerima wahyu (Sruti). Istilah Resi sebenarnya tidak sama artinya dengan Pendeta, namun kadang- kadang diartikan sama, seperti terdapat di beberapa daerah. Untuk membedakan pengertian Resi sebagai Pendeta dan Resi sebagai Nabi, maka dipakailah istilah Maha Resi untuk menyatakan Resi sebagai Nabi. Diantaranya:
Swayambhu, Bharadwaja, Wrhaspati, Krtyaya, Sandhyaya, Agastya, Wasistha, Tridhatu, Gotama, Wajrasrawa, Grtsamada, Kanwa, Trinawindhu, Aryadatta, Dharma, Wiswamitra, Narayana, Usana, Somayan, Parasara, Warmadewa, Prajapati, Tryaguna, Rutsa, Byasa, Atri, Hiranyagarbha, Dhananjaya dan Sakri

Maha Resi Byasa beserta murid- muridnya terkenal karena karyanya membukukan (kodifikasi) kitab- kitab Weda, sehingga terhimpunlah kitab Catur Weda.

Avatara
Awatara adalah perwujudan Sang Hyang Widhi turun ke dunia untuk karya penyelamatan terutama pada saat dharma mengalami tantangan dan saat- saat adharma mulai merajalela. Bedanya dengan Maha Resi ialah bahwa Awatara itu adalah perwujudan Hyang Widhi yang turun ke dunia, sedangkan Maha Resi adalah manusia terpilih karena dapat meningkatkan jiwanya ke kesempurnaan sehingga dapat menerima wahyu. Dalam Wisnu Purana dikenal sepuluh perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa dalam penyelamatan dunia ialah:
1. Matsya Awatara, Ikan yang maha besar
2. Kurma Awatara,  Kura-kura (penyu) raksasa yang diceritakan menopang semesta
3. Waraha Awatara, Badak Agung
4. Narasingha Awatara, manusia berkepala Singa, membunuh Raja Hirania Kasipu sebagai tokoh Adharma saat itu.
5. Wamana Awatara, Orang Kerdil yang membunuh Raja Bali sebagai tokoh Adharma.
6. Rama Parasu Awatara, Pandita yang selalu membawa kampak, memberi kesadaran kepada para kesatria untuk mengendalikan Dharma atau kepemimpinan dengan sebaik- baiknya.
7. Rama Awatara, putra Prabu Dasarata guna membela dharma melawan adharma yang dipimpin oleh Rawana yang pasukannya terbasmi.
8. Krisna Awatara, sebagai putra Prabu Wasudewa dengan Dewi Dewaki menghancurkan Raja Kangsa dan Jarasanda golongan adharma pada saat itu.
9. Budha Awatara, sebagai putra Prabu Sudodana dengan Dewi Maya bertugas menyadarkan umat manusia, agar bebas dari penderitaan melalui jalan tengah di antara delapan cakram (putaran hidup).
10. Kalki Awatara, penunggang kuda putih dengan membawa pedang terhunus dan akan membasmi makhluk yang adharma. Awatara ini adalah yang ke-10, Menurut keyakinan kita beliau akan datang nanti bila adharma sudah betul- betul merajalela (silahkan baca: "pralaya - kiamat").

Karakteristik
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha). Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi.

Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia. 

Konsep Hindu
Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi pelaksanaan yajña, sistem Catur Warna, pemujaan terhadap Dewa-Dewi, Trihitakarana,Panca Sradha, Tattwam asi dan lain-lain. 
Dewa-Dewi Hindu
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, yang melaksanakan tugas keseharian Tuhan. Kata “dewa” berasal dari kata “div” yang berarti “bersinar”. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Çiwa. Mereka disebut Trimurti.

Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya. 

TIGA KERANGKA DASAR AGAMA HINDU
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
1. Tatwa
2. Susila
3. Upakara

TATWA
Sebenarnya agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana.

TRI PRAMANA
Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana. 
Tri Pramana, "Tri" artinya tiga, "Pramana" artinya jalan, cara, atau ukuran. Jadi Tri Pramana adalah tiga jalan/ cara untuk mengetahui hakekat kebenaran sesuatu, baik nyata maupun abstrak. Dalam Wrhaspati Tattwa sloka 26 disebutkan:
Pratyaksanumanasca krtan tad wacanagamah pramananitriwidamproktam tat samyajnanam uttamam. Ikang sang kahanan dening pramana telu, ngaranya, pratyaksanumanagama.
Pratyaksa ngaranya katon kagamel. Anumana ngaranya kadyangganing anon kukus ring kadohan, yata manganuhingganing apuy, yeka Anumana ngaranya.
Agama ngaranya ikang aji inupapattyan desang guru, yeka Agama ngaranya. Sang kinahanan dening pramana telu Pratyaksanumanagama, yata sinagguh Samyajnana ngaranya.
Artinya:
Adapun orang yang dikatakan memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan yang disebut Pratyaksa, Anumana, dan Agama.
Pratyaksa namanya (karena) terlihat (dan) terpegang. Anumana sebutannya sebagai melihat asap di tempat jauh, untuk membuktikan kepastian (adanya) api, itulah disebut Anumana.
Agama disebut pengetahuan yang diberikan oleh para guru (sarjana), itulah dikatakan Agama. Orang yang memiliki tiga cara untuk mendapat pengetahuan Pratyaksa, Anumana, dan Agama, dinamakan Samyajnana (serba tahu).

Tri Premana meliputi:
1. Agama Pramana adalah suatu ukuran atau cara yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai ucapan- ucapan kitab suci, karena sering mendengar petuah- petuah dan ceritera para guru, Resi atau orang- orang suci lainnya. Ceritera- ceritera itu dipercayai dan diyakini karena kesucian batin dan keluhuran budi dari para Maha Resi itu. Apa yang diucapkan atau diceriterakannya menjadi pengetahuan bagi pendengarnya. Misalnya: Guru ilmu pengetahuan alam berceritera bahwa di angkasa luar banyak planet- planet, sebagaimana juga bumi berbentuk bulat dan berputar. Setiap murid percaya kepada apa yang diceriterakan gurunya, oleh karena itu tentang planet dan bumi bulat serta berputar menjadi pengetahuan yang diyakini kebenarannya, walaupun murid- murid tidak pernah membuktikannya. Demikianlah umat Hindu meyakini Sang Hyang Widhi Wasa berdasarkan kepercayaan kepada ajaran Weda, melalui penjelasan- penjelasan dari para Maha Resi atau guru- guru agama, karena sebagai kitab suci agama Hindu memang mengajarkan tentang Tuhan itu demikian.

2. Anumana Pramana adalah cara atau ukuran untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan menggunakan perhitungan logis berdasarkan tanda- tanda atau gejala- gejala yang dapat diamati. Dari tanda- tanda atau gejala- gejala itu ditarik suatu kesimpulan tentang obyek yang diamati tadi. Cara menarik kesimpulan adalah dengan dalil sebagai berikut: YATRA YATRA DHUMAH, TATRA TATRA WAHNIH artinya Di mana ada asap di sana pasti ada api. Contoh: Seorang dokter dalam merawat pasiennya selalu mulai dengan menanyakan keluhan- keluhan yang dirasakan si pasien sebagai gejala- gejala dari penyakit yang diidapnya. Dengan menganalisa keluhan- keluhan tadi dokter dapat menyimpulkan penyakit pasiennya, sehingga mudah melakukan pengobatan. Demikian pula jika memperhatikan keadaan dunia ini, maka banyak sekali ada gejala- gejala alam yang teratur. Hal itu menurut logika kita hanya mungkin dapat terjadi apabila ada yang mengaturnya.

3. Pratyaksa Pramana adalah cara untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan cara mengamati langsung terhadap sesuatu obyek, sehingga tidak ada yang perlu diragukan tentang sesuatu itu selain hanya harus meyakini. Misalnya menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri, kita jadi tahu dan yakin terhadap suatu benda atau kejadian yang kita amati. Untuk dapat mengetahui serta merasakan adanya Sang Hyang Widhi Wasa dengan pengamatan langsung haruslah didasarkan atas kesucian batin yang tinggi dan kepekaan intuisi yang mekar dengan pelaksanaan yoga samadhi yang sempurna.
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha disarikan menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha. 

PANCA SRADHA
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca sradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2. Atma Tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala Tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
4. Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksa Tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.

CATUR MARGA YOGA
Dalam usaha perjalanan manusia menuju kepada Tuhan, ada empat jalan yang harus ditempuh yaitu Catur Marga. Catur artinya empat dan Marga artinya jalan. Jadi Catur Marga artinya: empat jalan yang harus ditempuh dalam usaha manusia menuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. (silahkan baca: "Jalan mencari Tuhan - Catur Marga"). Empat jalan itu disebut Catur Marga, yaitu:

1. Yoga Marga / Raja Yoga : menuju pada kebenaran dengan jalan disiplin tertentu dengan metode-metode Yoga. Raja Yoga Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa melalui pengabdian diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa yaitu mulai berlangsung dan berakhir pada konsentrasi. Dalam arti yang lebih luas yoga ini mengandung pengertian tentang pengekangan diri. Dengan pengendalian diri yang ketat, tekun dalam yoga, maka persatuan Atman dengan Brahman akan tercapai.

2. Jnana Marga / Jnana Yoga : menuju persatuan dengan Tuhan dengan cara terus menerus mempelajarinya. Jnana Marga ialah suatu jalan dan usaha untuk mencapai jagadhita dan Moksa dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat (Jnana). Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, para arif bijaksana (Jnanin) melaksanakan dengan keinsyafan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu sumber alam, yang di dalam kitab suci Weda disebut Brahman atau Purusa. Di dalam Upanishad dijelaskan bahwa Brahman atau Purusa adalah sebagai sumber unsur- unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala benda yang terdapat di alam ini. Brahman sebagai sumber segala- galanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat, atau sifatnya yang menyebabkan Brahman berubah menjadi serba segala, rohaniah maupun jasmaniah (sekala- niskala). Menginsyafi bahwa segala yang ada, rohani maupun jasmani, benda yang berwujud (Sthula) maupun abstrak (suksma) bersumber pada Brahman, maka para bijaksana (Jnanin) memandang bahwa semua benda jasmaniah (jasad) dan wujud rohani (alam pikiran dan sebagainya) yang timbul dari Brahman adalah benda dan wujud yang bersifat sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahman (Siwa) Yang Maha Agung yang sungguh- sungguh ada dan mutlak (absolut). Dengan kebijaksanaan (Jnana) mereka dapat mencapai dharma yang memberikan kebahagiaan lahir batin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (Swarga) dan dalam penjelmaan yang akan datang (Swarga Cyuta). Andaikata rahmat melimpah akhirnya mereka dapat menginjak alam Moksa yaitu kebahagiaan yang kekal, yang menyebabkan roh (Atma) bebas dari penjelmaan.

3. Bhakti Marga / Bhakti Yoga : menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan sebagai seorang penyembah yang penuh kecintaan. (selahkan baca: "Bhakti Marga Yoga")

4. Karma Marga / Karma Yoga : menuju pembebasan dengan jalan bekerja tanpa mengharapkan hasil. Karma Marga berarti jalan atau usaha untuk mencapai Jagadhita dan Moksa dengan melakukan kebajikan, tiada terikat oleh nafsu hendak mendapat hasilnya berupa kemasyhuran, kewibawaan, keuntungan, dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan untuk kesejahteraan umat manusia dan sesama makhluk. Selain itu Karma Marga berhampiran inti ajarannya dengan Bhakti Marga, yaitu mengarahkan segala usaha, pengabdian kebijaksanaan, amal dan pengorbanan itu bukan dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah- istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata- bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

SUSILA
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.

Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. 

Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. 

Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.

TRI KAYA PARISUDHA
Untuk bisa menjalankan dharma diperlukan prilaku dasar yang disebut: Tri Kaya Parisuda artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan. Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya, meliputi:
1. Berpikir yang benar (Manacika) - Satya Hrdaya - satunya pikiran
2. Berkata yang benar (Wacika) - Satya Wacana - satunya tutur
3. Berbuat yang benar (Kayika) - Satya Laksana - satunya laku
Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau prilaku; sedangkan Parisudha berarti "upaya penyucian".Jadi "Trikaya-Parisudha berarti "upaya pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku kita".

Tri Kaya Parisudha yang menjadi konsentrasi pembahasan kali ini adalah merupakan salah satu aplikasi dan perbuatan baik (subha karma). Secara hirarki bermula dan pikiran yang baik dan benarlah akan mengalir ucapan dan perbuatan yang baik dan benar pula. Jadi kuncinya adalah pada pikiran, yang dalam pepatah sama dengan “dan telaga yang jernihlah mengalir air yang jernih pula”. Kalau pikirannya kacau, apalagi memikirkan yang macam-macam dan bukan-bukan niscaya perkataan dan perbuatannyapun akan amburadul yang bermuara pada kehancuran dan penderitaan.

CATUR PARAMITA
Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam Catur Paramita, diantaranya:
1. Maitri yaitu sifat suka menolong orang lain yang dalam kesusahan dengan ikhlas
2. Karuna yaitu sifat kasih sayang dan cinta kepada sesama tanpa meminta balasan
3. Mudita yaitu sifat simpatik dan ramah tamah menghormati oang lain dengan tulus
4. Upeksa yaitu sifat mawas diri, tepa sarira, bisa menempatkan diri, rendah hati

PANCA YAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atas upaya menjauhi larangan agama sebagai norma kehidupan sebagai berikut: 
1. Ahimsa yaitu Kasih kepada makhluk lain, tidak membunuh atau menganiaya
2. Brahmacari yaitu Berguru dengan sungguh- sungguh, tidak melakukan hubungan kelamin (sanggama) selama menuntut ilmu.
3. Satya yaitu Setia, pantang ingkar kepada janji
4. Awyawaharika yaitu Cinta kedamaian, tidak suka bertengkar dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
5. Astenya yaitu Jujur, pantang melakukan pencurian

PANCA NIYAMA BRATA
adalah lima jenis pengekangan diri berdasarkan atau tunduk (mengikuti) peraturan Dharma yang telah ditentukan, sebagai berikut: 
1. Akrodha yaitu Tidak dikuasai oleh nafsu kemarahan.
2. Guru Susrusa yaitu Hormat dan taat kepada guru serta patuh pada ajaran- ajarannya.
3. Sauca yaitu Senantiasa menyucikan diri lahir batin.
4. Aharalagawa yaitu Pengaturan makan (makanan bergizi) dan tidak hidup berfoya- foya/ boros.
5. Apramada yaitu Tidak menyombongkan diri dan takabur.

TRI MALA
merupakan tiga jenis kekotoran dan kebatilan jiwa manusia akibat pengaruh negatif dan nafsu yang sering tidak dapat terkendalikan dan sangat bertentangan dengan etika kesusilaan. Trimala patut diwaspadai dan diredam, karena ia akan menghancurkan hidup, meliputi:
1. Mithya hrdya yaitu berperasaan dan berpikiran buruk
2. Mithya wacana yaitu berkata sombong, angkuh, tidak menepati janji
3. Mithya laksana yaitu berbuat yang curang / culas / licik (merugikan orang lain)
Apabila Trimala telah menguasai seluruh hidup manusia timbullah kegelapan (Awidya) mengakibatkan ia tidak mampu lagi melakukan pertimbangan budi, kegelapan yang mempengaruhi pandangan hidupnya.  

SAD RIPU
adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi. Apabila tidak mampu menguasainya akan membawa bencana dan kehancuran total kehidupan manusia. Karena itu Sad Ripu patut dikendalikan dengan budi susila. Sad Ripu terdiri dari:
1. Kama yaitu hawa nafsu yang tidak terkendalikan
2. Lobha yaitu kelobaan (ketamakan), ingin selalu mendapatkan yang lebih.
3. Krodha yaitu kemarahan yang melampaui batas (tidak terkendalikan).
4. Mada yaitu kemabukan yang membawa kegelapan pikiran.
5. Moha yaitu kebingungan/ kurang mampu berkonsentrasi sehingga akibatnya individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna.
6. Matsarya yaitu iri hati/ dengki yang menyebabkan permusuhan.

CATUR ASRAMA 
Hubungan tata kemasyarakatan Hindu dibagi menjadi empat tingkat kehidupan yang dikenal dengan Catur Asrama. Catur Asrama adalah empat lapangan atau tingkatan hidup manusia atas dasar keharmonisan hidup. Tiap- tiap tingkat kehidupan manusia diwarnai oleh adanya ciri- ciri tugas kewajiban yang berbeda antara satu masa (asrama) dengan masa lainnya, tetapi merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adanya perbedaan sifat tugas dan kewajiban seorang bapak dengan ibu dengan anak- anaknya.

Menurut agama Hindu pembagian tingkat kehidupan manusia sesuai dengan sistem Catur Asrama, ialah sebagai berikut:

1. Brahmacari Asrama Adalah tingkat masa menuntut ilmu/masa mencari ilmu. Masa Brahmacari diawali dengan upacara Upanayana dan diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana (Ijazah).

2. Grhasta Asrama Adalah tingkat kehidupan berumahtangga. Masa Grehasta Asrama ini adalah merupakan tingkatan kedua setelah Brahmacari Asrama. Dalam memasuki masa Grehasta diawali dengan suatu upacara yang disebut Wiwaha Samskara (Perkawinan) yang bermakna sebagai pengesahan secara agama dalam rangka kehidupan berumahtangga (melanjutkan keturunan, melaksanakan yadnya dan kehidupan sosial lainnya).

3. Wanaprastha Asrama Merupakan tingkat kehidupan ketiga. Dimana berkewajiban untuk menjauhkan diri dari nafsu keduniawian. Pada masa ini hidupnya diabdikan kepada pengamalan ajaran Dharma. Dalam masa ini kewajiban kepada keluarga sudah berkurang, melainkan ia mencari dan mendalami arti hidup yang sebenarnya, aspirasi untuk memperoleh kelepasan/moksa dipraktekkannya dalam kehidupan sehari- hari.

4. Sanyasin Asrama (bhiksuka) Merupakan tingkat terakhir dari catur asrama, di mana pengaruh dunia sama sekali lepas. Mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup yang benar. Pada tingkatan ini, ini banyak dilakukan kunjungan (Dharma yatra, Tirtha yatra) ke tempat suci, di mana seluruh sisa hidupnya hanya diserahkan kepada Sang Pencipta untuk mencapai Moksa

CATUR PURUSA ARTHA
Agama Hindu memberikan tempat yang utama terhadap ajaran tentang dasar dan tujuan hidup manusia. Dalam ajaran Agama Hindu ada suatu sloka yang berbunyi: "Moksartham Jagadhita ya ca iti dharmah", yang berarti bahwa tujuan beragama adalah untuk mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman batin (kedamaian abadi). Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri dari:

1. Dharma Merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku manusia. kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan.

2. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka (pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar. Nafsu keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama, menghilangkan kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat tidak kekal berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha perlu diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat, yatim piatu, dan lain- lain)

3. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti kesenangan. merupakan keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia dalam hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai makhluk berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk diterapkan. Dengan ungkapan lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah selarasnya kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang berlaku.

4. Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi, pelepasan kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan pawali duka).

CATUR WARNA 
Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah:

1. Warna Brahmana adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

2. Warna Ksatrya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.

3. Warna Wesya adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

4. Warna Sudra adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah (Wangsa di Bali). Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

CATUR GURU
Untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat Hindu tidak terlepas dari disiplin dalam setiap tingkah laku kita sehari- hari lebih- lebih terhadap catur kang Sinangguh Guru. Kata Guru dalam bahasa Sanskerta berarti berat. Dalam Agama Hindu ada 4 yang dianggap guru adalah:

1. Guru Swadyaya.  Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai guru sejati maha guru alam semesta atau Sang Hyang Paramesti guru. Agama dan ilmu pengetahuan dengan segala bentuknya adalah bersumber dari beliau. SARWAM IDAM KHALUBRAHMAN (segala yang ada tidak lain dari Brahman). Demikian disebutkan dalam kitab Upanishad

2. Guru Wisesa. Wisesa dalam bahasa Sanskerta berarti purusa/ Sangkapurusan yaitu pihak penguasa yang dimaksud adalah Pemerintah. Pemerintah adalah guru dan masyarakat umum yang berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan kesejahteraan material dan spiritual.

3. Guru Pengajian / Guru Parampara. Guru di sekolah yang telah benar- benar sepenuh hati dan ikhlas mengabdikan diri untuk mendidik serta mencerdaskan kehidupan Bangsa.

4. Guru Rupaka Orang yang melahirkan (orang tua), tanpa orang tua kita tak akan ada oleh karena itu betapa besarnya jasa- jasa orang tua dalam membimbing putra- putranya untuk melahirkan putra yang baik (suputra). 

UPACARA – YADNYA
Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa. (lebih lanjut, silahkan baca: "Upacara Yadnya dalam kehidupan Masyarakat Hindu Bali")
Di dalamnya terkandung nilai- nilai:
1. Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
2. Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
3. Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing- masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
4. Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.

Konsep keseimbangan

TRI HITA KARANA
Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
1. Manusia dengan Tuhannya (Parhyangan)
2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan)
3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan)
Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya. lebih lanjut tentang Tri Hita Karana bisa dibaca di artikel "implementasi Tri Hita Karana dalam kehidupan"

Konsep toleransi dan ketuhanan
Agama Hindu memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitabWeda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:

Tat Twam Asi – (Candayoga Upanisad)
ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama

Ekam eva advityam Brahma - (Ch.U.IV.2.1)
Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.

Eko Narayanad na dvityo Sti kaccit - (Weda Sanggraha)
Hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.

Bhineka Tungal Ika, tan hana Darma mangrwa - (Lontar Sutasoma)
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.

Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti —Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)
Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama.

Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah - (Bhagavad Gītā, 4.11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku, dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)

Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham - (Bhagavad Gītā, 7.21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na medewsyo 'sti na priyah, ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham (Bhagavad Gītā, IX. 29) 
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk. Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi, Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula 
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ, te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam - (Bhagavad Gītā, IX.23)
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya, sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya, dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)

Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan yang tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Shiwa sebagai pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain. Ia Maha Tahu, berada di mana-mana. Karena itu tak ada apapun yang dapat kita sembunyikan dihadapan-Nya. Orang-orang menyembah-Nya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda-beda. Kepada-Nyalah orang menyerahkan diri, mohon perlindungan dan petunjuk-Nya agar dia menemukan jalan terang dalam mengarungi hidup ini

Sunday, April 12, 2015

Pura Pedharman Pusat

Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan Bangli
Kisahkan Pengungsian Dalem dari Puri Pejeng

Perjalanan panjang dari Ida Dalem Tarukan akibat pengungsian dari istana, akhirnya menjadi tonggak sejarah perjalanan di Desa Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Di sanalah berdiri kokoh Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan. Setiap enam bulan sekali atau pada acara-acara lainnya menjadi perhatian umat sedharma terutama warih Dalem Tarukan.

Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan tidaklah sulit mencarinya. Perjalanan bisa lewat dari berbagai arah. Bisa dari Kota Bangli, dari Banjarangkan, Klungkung, atau bisa juga melalui jalan lain sesuai dengan asal pemedek. Pura ini tepatnya berada di Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Lokasinya berada di daerah sejuk, masih dalam suasana desa. Perjalanan dari Denpasar cukup jauh dan melelahkan. Namun, selama perjalanan banyak melalui hamparan hijau, sehingga bisa memberikan panorama yang indah sepanjang perjalanan.

Luas pura juga cukup memadai. Ada tempat parkir, begitu juga di sebelah timur pura ditemukan areal yang kosong cukup luas. Fasilitas untuk pemedek juga tersedia bahkan kebersihan juga terjamin. Sarana umum seperti wantilan juga mampu menampung ribuan orang. Suasana pura akan tampak lain ketika odalan digelar tepat Buda Kliwon Ugu setiap enam bulan sekali.

Dapat dibayangkan, sesak umat Hindu terutama dari Pertisentana Dalem Tarukan yang tumpah ruah ke pura. Walaupun disediakan waktu nyejer selama tiga hari, toh juga bludakan pemedek tak pernah sepi. Pelataran kahyangan yang cukup luas pun seakan menjadi sempit. Apalagi jumlah perti sentana di seluruh Nusantara seperti dikatakan Bapak I Wayan Waya, S.H sebagai pengurus pusat Sentana Dalem Tarukan jumlahnya 200-an ribu. Tersebar di Jawa, Lombok dan daerah lainnya.

Sementara Jro Mangku Jati mengungkapkan, guna mengetahui bagaimana kisah atau sejarah pura ini sudah ada babad Pula Sari yang mengisahkan perjalanan Ida Dalem Tarukan yang mengungsi dari istana megahnya. Perjalanan ini berhubungan dengan titah sebagai raja menggantikan saudaranya yang tidak mau menjadi raja. Untuk itu berikut cukilan sejarahnya berdasarkan babad Dalem Tarukan.

Jro Mangku Jati yang tingal di Banjar Puseh, Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli memberikan/menceritakan sejarah pura berdasarkan data yang sudah tersebar dan sudah banyak dikisahkan dalam babad-babad. Apalagi perjalanan panjang dari leluhur Dalem Tarukan berawal dari Istana Samprangan di mana ayahnya Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai raja.

Dari ayah Sri Kresna Kepakisan, Ida Dalem Tarukan mempunyai sameton/saudara lima orang. Antara lain Dalem Agra Samprangan, Dalem Tarukan, Dewa Ayu Swabawa, Dalem Ketut Ngulesir dan I Dewa Tegal Besung. Ayahnya berkuasa di Bali mulai tahun 1272 berkedudukan di Samprangan Gianyar dengan membawa keris utama bernama Ki Tanda Langlang.

Singkat cerita, Dalem Tarukan dewasa membangun puri di Tarukan Pejeng, Ganyar, Ida di sana bersama istrinya dari Lempuyang Madya Bukit Gamongan. Ditemani putra angkatnya Rakriyan Kuda Pinandang Kajar. Anak angkatnya ini putra dari Dalem Blambangan, ditemani juga masyarakat dan maha patih yang setia kepada Dalem Tarukan.

Perjalanan Dalem Tarukan memang penuh dilemma. Pasalnya, petaka dating ketika anak angkatnya sakit. Ketika anaknya Rakriyan Kuda Pinandang Kajar sakit, Dalem Tarukan sauh munyi. Seraya berucap, seandainya anakku sembuh akan ku kwainkan dengan Dewa Ayu Muter putri dari Dalem Samprangan. Benar saja, setelah kata-kata mengujar, Pinandang Kajar sembuh total.

Guna menepati janjinya, menikahkan Dewa Ayu Muter dengan anak angkatnya. Setelah pernikahan dilakukan, bukan kebahagiaan yang dirasakan oleh Dalem Tarukan termasuk anaknya, justru amarah besar dari Dalem Samprangan. Pasalnya, pernikahan ini dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Dalem Samprangan. Semenjak itulah jiwa Dalem Tarukan terancam, karena Dalem Samprangan mengutus pasukannya cukup banyak untuk melakukan serangan ke Puri Pejeng. Jumlah cukup lumayan 3 ribu pasukan yang siap menyerbu Puri Pejeng.

Menghindari petaka tersebut, Dalem Tarukan mengungsikan diri, bahkan tanpa mengikutsertakan istri setianya. Lebih menyedihkan lagi, istrinya mengandung janin sekitar enam bulanan. Pelarian ini menyusuri Desa Taro, Desa Pulesari di sebelah selatan Tampuwagan, Tembuku, Bangli. Di Tampuwagan inilah Ida Dalem Tarukan nyineb wangsa agar selamat dari serangan pasukan Dalem Samprangan yang mengejar dirinya. Bahkan Dalem Tarukan menyelinap di sela-sela petani yang sedang menanam padi. Ida Dalem Tarukan nyamar sebagai petani.

Setelah pasukan lewat, beliau masuaka kepada masyarakat petani. Di mana kepada petani menyarankan agar Dalem Tarukan jangan dipanggil Gusti, I Dewa, majero agar persembunyiannya tidak diketahui. Selanjutnya Dalem Tarukan diantar ke padukuhan tepatnya di selatan dusun Pulasari sekarang. Beliau diterima Ki Dukuh Pantunan. Setelah lama berada di dusun ini, akhirnya tercium juga, dan pasukan dating lagi mencari jejak Dalem Tarukan.

Hampir saja beliau tertangkap, karena pasuwecan Hyang Widhi, beliau sembunyi di semak-semak belukar yang banyak binatangnya seperti puyuh, perkutut, dan berada di bawah tumbuhan jawa jali, pohon pisang. Beruntung kicauan burung yang bercanda memberikan keselamatan kepada Dalem Tarukan. Berkat canda, kicau burung pasukan menyangka tidak ada siapa-siapa di semak-semak tersebut.

Selamatlah Dalem Tarukan dari kejaran pasukan. Di situlah Dalem Tarukan memberikan suaka, berkat jasanya menyelamatkan nyawanya, seketurunannya tidak akan makan/mangsa burung puyuh, jawa jail. Setelah lama kemudian, kembali Dalem Tarukan tidak merasa nyaman, lalu dipindahkan ke desa lainnya. tersebutlah Desa Poh Tegeh di wilayah Songan. Beliau di sini diterima oleh Ki Gusti Poh Tegeh sementara Dalem Tarukan ditempatkan di Jenggala Sekar, Desa Tegal Bunga yang diterima oleh Ki Dukuh Dami.

Singkat cerita, Dalem Tarukan lama sudah berdiam di Dukuh Bunga sampai mempunyai tujuh keturunan dari lima istri-istrinya. Di antara ketujuh anak-anaknya itu adalah : I Gusti Sekar dan I Gusti Gede Pulasari dari ibunya Gusti Ayu Kwaji, I Gusti Gede Bandem dengan ibunya Jero Sekar putri dari Dukuh Bunga, I Gusti Gede Dangin dengan ibunya Jro Dangin putri dari Dukuh Darmaji, I Gusti Gede Belayu dengan Jro Belayu putri dari Mekel Belayu, dan akhirnya I Gusti Gede Balangan dan Gusti Ayu Wanagiri dengan ibunya Gusti Luh Balangan.

Dari padukuhan Bunga, Dalem Tarukan lagi mengungsi ke berbagai desa yang ada di bangle dan Karangasem. Sampai akhirnya menemukan tempat yang sangat cocok bernama Pulasantun kini disebut Desa Pulasari. Di sinilah Dalem Tarukan merasa damai. Sampai akhirnya ingat dengan istrinya yang mengandung selama enam bulan. Walau sebelumnya Dalem Tarukan menemui celaka atas meninggalnya putri kesayangannya bernama Gusti Ayu Wanagiri akibat bertemu dengan Dukuh Darmaji berkat makan beras putrinya meninggal dunia. Akhirnya jasad Wanagiri dimakamkan di Sukawana dengan bade tumpang pitu.

Setelah menemukan lokasi yang cocok, di sanalah Dalem Tarukan dengan istri-istri dan anak-anaknya kumpul. Bahkan Dalem Tarukan tidak ada niat kembali ke istananya di Pejeng. Di sinilah beliau bercocok tanam. Uniknya, Dalem Tarukan justru tertarik dengan kadiatmikan, sebagai kabujanggaan.

Sebagai akhir cerita, Ida Dalem Tarukan wafat pada Wraspati, Kliwon Ukir Isaka 1321/1399 Masehi. Segala upacara yang dilaksanakan atas wafatnya Dalem Tarukan adalah di Desa Pulasari. Abunya dihanyut di Tukad Congkang, atas upacara Dewa Hyang (Atma Pratista), maka Dalem Tarukan dilinggakan di Meru Tumpang Pitu.
Yang sangat unik selama upacara palebon, banyak harta benda yang tidak bisa dihabiskan, termasuk makanan, uang kepeng sampai dihanyut di tukad Bubuh dan tukad Jinah. Tukad Bubuh, karena tempat membuang makanan yang tidak habis digunakan oleh panjak Ida Dalem Tarukan, sementara tukad Jinah, karena tempat membuang uang kepeng yang juga kebanyakan sampai tidak bisa digunakan karena sudah dempet, sulit dipisahkan.Sampai sekarang, Desa Pulasari menjadi lokasi kahyangan Pertisentana Dalem Tarukan sebagai padharman Pusat yang selalu mendapat perhatian dari seluruh Para Gotra Santana Dalem Tarukan.